Senin, 09 April 2012

Suatu Penyakit Bernama LDR

Suatu gejala dari penyakit muncul karena adanya causa yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Terkadang para penderita merasa cukup sehat dengan pengobatan simtomatik saja, mereka tidak peduli apakah ditubuhnya masih terdapat patogen-patogen yang menyebabkan dirinya menderita. Baginya asal ia sudah tidak merasakan gejala seperti demam, pusing, dll maka dirinya sudah sembuh dari penyakit. Mungkin hal inilah yang menyebabkan insiden antibiotik yang menjadi resisten terhadap penyakit cukup tinggi, kebanyakan pasien tidak mengetahui fungsi sesungguhnya dari antibiotik yang justru akan bekerja melawan bakteri "nakal" tersebut sehingga mereka tidak mengkonsumsi obat tersebut sesuai dengan yang dianjurkan.

Yah, paragraf diatas jangan terlalu diambil pusing, anggap saja sebagai prolog dalam tulisan kali ini. Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan LDR (long distance relationship) atau bahkan kita sendiri pernah menjalani hal tersebut. Tentunya para pelaku LDR tersebut merasakan bagaimana menderitanya ia karena cinta tanpa pernah bertemu.

Banyak pasangan yang menderita LDR, mereka menunjukan gejala-gejala seperti kangen, galau, dan tak jarang menjadi penasaran apa yang sedang dilakukannya di seberang sana. Bisa dibilang LDR adalah suatu penyakit, sedangkan rasa rindu, galau, dsb adalah gejala yang ditimbulkan dari LDR. Seringkali perbincangan melalui telepon, rangkaian kata di SMS dan BBM, atau bahkan webcam-an merupakan obat bagi penderita LDR tersebut, namun sayang semua tersebut hanyalah meredakan simptom, semua obat tadi tidak akan mampu melawan penyakit LDR.

Akan tiba saatnya ketika obat-obat simptomatik tersebut menjadi tidak ampuh lagi untuk bekerja melawan gejala yang ditimbulkan LDR karena timbulnya resisten. Bahkan yang lebih buruknya lagi, LDR semakin lama akan menyebabkan komplikasi yang kian hari kian parah. Tak jarang penderita menjadi hipocintami alias menjadi haus akan kasih sayang dan cinta yang diberikan. Karena cinta tidak bisa diwakilkan melalui kata, atau sekedar bertatap melalui notebook.

Tubuh kita yang awalnya mampu mengkompensasi atas penyakit yang kita derita, maka akan tiba saat tubuh kita menjadi dekompensasi. Dan komplikasi akhir yang ditakutkan-pun terjadi, yakni kematian akan perasaan cinta terhadap dirinya. Cinta yang sudah lama kita upayakan agar tetap tumbuh menjadi mati karena tak pernah mendapatkan asupan nutrisi kasih sayang yang memadai. Pada akhirnya maka kita akan memutus hubungan, dan berpaling mencari sosok yang bisa ada disisi kita disaat kita benar-benar membutuhkannya.

Lalu, bagaimana penanganan yang tepat terhadap LDR? Apakah LDR termaksud self-limiting disease yang akan berakhir dengan sendirinya cepat atau lambat? Jawabannya adalah tidak. Penangannya adalah dengan tetap memberikan terapi simptomatik ditambah dengan 1 cangkir kepercayaan. Terapi simptomatik sangatlah diperlukan, bila diri kita sudah mulai terasa kebal dengan segala obat-obat simptomatik maka cobalah hal-hal baru seperti gaming bersama atau kegiatan apapun yang dirasa ampuh. Kepercayaan merupakan hal penentu dalam keberhasilan mempertahankan LDR, asalkan kita bisa memenuhi nutrisi kebutuhan kasih sayang maka kepercayaan itu akan tetap terjaga. Kedua obat tersebut harus digunakan setiap hari dengan dosis yang tepat.

Terakhir, dengarkanlah selalu suara hati kita, jangan pernah memaksakan segala sesuatu yang hanya akan menyakiti diri kita. Kita terlahir tanpa dirinya, maka kita juga mampu hidup tanpa dirinya. :)


ps: maaf postingan kali ini mengandung unsur kegalauan yang sangat tinggi*kabur*

9 komentar: